[6] [article] [slider-top-big] [Latest News]
You are here: Home / , Children Of Heaven, Film murah nan berkualitas

Children Of Heaven, Film murah nan berkualitas

| No comment

Mari bernostalgia sejenak, ditengah membanjirnya film-film lokal yang (sangat) tidak berkualitas dengan genre "seksual appeal". Entah itu genre horor, komedi, petualangan, yang SEBAGIAN BESAR film-film tersebut hanya mengumbar sensualitas pemainnya.
Jika anda seumuran saya, anda mungkin ingat dengan sebuah film Iran tahun 1997 yang ditulis dan disutradarai oleh Majid Majidi. Film ini dinominasikan dalam Academy Award untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik pada tahun 1998. Dia menceritakan petualangan kakak dan adik karena sepasang sepatu yang hilang, CHILDREN OF HEAVEN judul film tersebut.

Sedikit Tentang Children Of Heaven
Bila dicermati Children of Heaven adalah sebuah film drama rumah tangga biasa. Namun yang berbeda dari film garapan sutradara Iran terkemuka Madjid Madjidi ini, mampu membuat penonton terpukau, nyaris tak beringsut sedikitpun dari tempat duduk kita. Karena tulisan ini sekedar sinopsis singkat, untuk mengobati rasa penasaran anda, akan lebih baik mencari dan menyimak filmnya secara lengkap lewat cd atau dvdnya di toko-toko kaset di kota anda. Karena di you tube internet hanya berdurasi sekitar 10-30 menit. Tak hanya rasa iba dan kesedihan mendalam yang membuat penonton terenyuh menyaksikan sepasang bintang cilik ini beraksi. Namun keluguan dan kelucuanpun terkadang mampu membuat kita penonton tertawa terbahak-bahak. Saat Anda menonton film ini, terkesan sederhana dan dapat diestimasi biaya pembuatannya film ini pun sangat murah dibandingkan kebanyakan film layar lebar Indonesia yang menghabiskan dana miliaran rupiah tetapi hanya mengumbar kekerasan, klenik dan seksual secara vulgar. Saya sangat berharap kepada stake holder perfilman Indonesian serta para sponsor tidak terkecuali kepada pihak Djarum Black untuk lebih support dalam pembuatan film-film seperti ini.
Sinopsis Singkat
Kisah film ini diawali dengan sosok bocah lelaki bernama Ali dan mempunyai adik perempuannya Zahra dan seorang lagi masih bayi. Anak belasan tahun dari keluarga Karim ini hidupnya sangat sederhana yang tergolong keluarga miskin. Maklum, Karim ayahnya hanya seorang Marbot pengurus mesjid di tempat tinggalnya. Kemiskinan itulah yang membuat titik persoalan di film yang berdurasi 88 menit ini.
Ali yang mendapat tugas dari sang ibu untuk membeli kentang di pasar, awalnya memperbaiki sepatu adiknya Zahra pada seorang tukang sol sepatu. Usai sepatu adiknya dijahit oleh tukang sol sepatu, lalu dibungkus pakai kantong plastik kresek dan meneruskan tugas dari ibundanya ke pasar sayur mayur. Untuk memudahkan belanja yang dipesan ibunya Ali menaruh sepasang sepatu butut yang tadi di kantong plastik kresek ke sela-sela tumpukan kotak kayu di bawah sisa barang dagangan. Sialnya sepatu jahitan tersebut selanjutnya terbawa oleh tukang sampah yang membersihkan lingkungan kios-kios. Tak heran usai belanja kentang, Ali tidak menemukan sepatu adiknya yang disimpanya di sela-sela tumpukan kotak kayu dekat barang dagangan. Kalang kabut Ali mencarinya. Ia pun mencoba mengendap-endap mencari sepatu itu, namun penjual sayur mayur didekatnya menjadi terganggu dan berang melihat Ali seolah-olah ingin mencuri barang dagangannya. Ali pun diusir dan dikejar sehingga Anak malang itu lari tunggang langgang.
Sesampainya di rumah Ali menjadi cemas dan pucat pasi. Berulang kali Zahra adiknya menanyakan sepatu yang diperbaiki, namun Ali tak bergeming. Akhirnya dengan jujur ia katakan bahwa sepatunya hilang di pasar sayur. Saat itulah Zahra terlihat sangat sedih karena ia tidak memiliki sepatu lagi, karena memang hanya satu-satunya untuk Zahra ke sekolah. Ali pun berusaha menghibur adiknya dengan memberikan pinsil kesukaannya. Bahkan Ali memberikan pulpen bagus yang ia dapat dari penghargaan atas prestasinya sebagai murid terpandai. Tentu saja dengan catatan agar Zahra tidak memberitahukan orang tuanya kalau ia tak memiliki sepatu lagi.
Yang menarik di film ini, Zahra bergantian memakai sepatu butut satu-satunya milik Ali. Kebetulan Zahra sekolah pagi sedangkan Ali masuk siang. Di tengah jalan keduanya selalu memakai sepatu tersebut bergantian. Tidak jarang Ali sering terlambat masuk sekolah.
Celakanya, suatu hari sepatu yang dipakai Zahra jatuh di sebuah got berair mengalir deras. Dengan kalang kabut Zahra mengambil sepatu yang terbawa arus kali kecil. Namun beruntung masih ada orang yang mau menolong mengambilkan sepatu yang hanyut. Kendati akhirnya Zahra pulang kesiangan dan Ali terpaksa mendapat terguran keras di sekolah.

“Jangan sampai ayah tahu adikku, kita bergantian sepatu.” “mengapa? Kan ayah bisa beli lagi?” usul Zahra. “Jangan. Ayah kita tidak punya uang. Kita orang miskin. Kasihan ayah, sudah kerja keras tetapi tetap tidak punya uang. Apalagi adik kita masih bayi. Dia perlu susu dan makanan tambahan.”
Sepatu Zahra yang hilang
Ali bersusah payah meyakinkan adiknya agar tak perlu melaporkan pada ayah tentang sepatu adiknya yang hilang. Karim sebagai ayahnya Ali seorang marbot dan pekerja serabutan. Karim memang tidak mampu membahagiakan keluarganya. Namun sebagai seorang ayah dari tiga anaknya yang masih kecil Karim tetap semangat untuk bekerja.
Suatu ketika ia mengajak putranya Ali untuk melamar menjadi tukang kebun di kota dengan mengendarai sepeda butut keliling kota, di komplek perumahan elit. Lantaran digonggong anjing galak, keduanya harus lari tunggang langgang. Pada bagian ini banyak adegan lucu yang muncul. Sampai akhirnya Karim mendapat job sebagai tukang potong rumput dan menyirami kembang di sebuah rumah mewah.
Karim dan anak-anaknya Ali dan Zahra juga pernah melakoni memecah gumpalan gula putih untuk jamaah pengajian di masjid tempat tugasnya sebagai marbot. Ketika Zahra membuatkan minuman-teh untuk ayahnya yang terasa kurang manis, dengan lugu Zahra mengatakan:“Ayah tinggal mengambil gula di depan ayah. ”Namun hal itu tidak dilakukan oleh Karim, meskipun gumpalan gula yang dipecah-pecah untuk konsumsi jamaah pengajian, terlihat banyak di depannya. “Itu milik masjid. Kita tidak boleh mengambilnya anakku” kata Karim dengan jujur.
Sebagai Muslim ia selalu berharap memakan makanan yang halal dari uang hasil kerjanya. Tak lebih, karena keberkahan seseorang hanya bisa diperoleh dari mendapatkan yang halal dari kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain sesuai yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Film diakhiri dengan keikutsertaan Ali dalam lomba lari yang diadakan sekolahnya. Niat Ali mengikuti lomba itu tak lain ingin meraih juara ketiga dengan hadiah sepatu karet. Jika berhasil hadiah itu akan ia persembahkan buat adiknya tercinta Zahra. Sayang seribu sayang Ali ternyata menjadi juara satu. Itu artinya ia mendapat hadiah sepasang sepatu olah raga laki-laki, bukan sepatu karet untuk wanita. Ali malah sedih, Ia merasa gagal membahagiakan Zahra. Nilai apa yang dipetik dari film Children of heaven. Ada empat nilai yang dipetik dari film karya sineas Iran ini. Pertama selalu melakukan kejujuran. Kedua selalu mencari penyelesaian masalah, ketiga selalu memikirkan orang lain dan keempat mencapai prestasi setinggi-tingginya.
Foto-foto
Semoga, para sineas film Indonesia segera terbuka fikirannya untuk mulai membuat film-film yang bernilai edukasi seperti film ini.

Sumber1 | Sumber2