Apakah anda termasuk orang yang saggup berselancar di internet selama berjam-jam? waspadalah.
Para peneliti di Missouri University of Science and Technology, Duke University Medical Center dan the Duke Institute of Brain Sciences, menemukan hubungan antara tipe penggunaan internet dan perilaku kecanduan.
Kaum muda yang menghabiskan banyak waktu di internet mungkin menunjukkan perilaku kecanduan klasik, menurut penelitian terbaru.
Para peneliti di Missouri University of Science and Technology, Duke University Medical Center dan the Duke Institute of Brain Sciences, melacak penggunaan internet 69 mahasiswa selama dua bulan. Yang mereka temukan adalah hubungan antara tipe penggunaan internet tertentu dan perilaku kecanduan.
“Sekitar 5 sampai 10 persen pengguna internet menunjukkan ketergantungan web, dan studi penggambaran otak menunjukkan bahwa penggunaan internet impulsif dapat menyebabkan perubahan dalam beberapa jalur reward otak yang mirip dengan apa yang terlihat di otak pecandu narkoba," ujar Dr. P. Murali Doraiswamy, seorang professor psikiatri dan ilmu perilaku di Duke University Medical Center.
Untuk penelitian tersebut, para siswa diminta untuk melengkapi survei berisi 20 pertanyaan yang disebut Internet-Related Problem Scale (IRPS). IRPS mengukur tingkat masalah yang dimiliki seseorang akibat penggunaan internet, dengan skala 0 sampai 200.
Skala ini dikembangkan untuk mengidentifikasi karakteristik kecanduan, seperti introversi, penarikan diri, keinginan akan sesuatu, toleransi dan konsekuensi hidup negatif. Survei ini juga menemukan pelarian dari kenyataan, kehilangan kendali dan waktu yang berkurang untuk melakukan kegiatan harian.
Para peneliti juga melacak penggunaan internet di kampus oleh mahasiswa yang diteliti selama dua bulan.
Mereka menemukan bahwa kisaran skor IRPS di antara mahasiswa yang diteliti selama dua bulan berada di antara 30 sampai 134 pada skala angka 200. Skor rata-rata adalah 75.
Penggunaan total internet mahasiswa berkisar dari 140 megabytes sampai 51 gigabytes, dengan rata-rata 7 gigabytes, dan penggunaan tersebut dibagi menjadi beberapa kategori, termasuk gaming, chatting, pengunduhan dokumen, email, browsing dan jaringan sosial (Facebook dan Twitter). Total skor IRPS menunjukkan korelasi tertinggi dengan gaming, chatting dan browsing, dan yang terendah dengan email dan jaringan sosial.
Perilaku kecanduan klasik dikaitkan dengan kegiatan internet spesifik, menurut para peneliti. Contohnya, mereka menemukan bahwa introversi terkait erat dengan gaming dan chatting; keinginan akan sesuatu terkait erat dengan gaming, chatting dan pengunduhan dokumen; dan kehilangan kendali terkait erat dengan gaming.
Mahasiswa yang mendapatkan skor tinggi di skala introversi menghabiskan 25 persen waktu lebih banyak di pesan instan daripada mahasiswa yang mendapatkan skor rendah. Para mahasiswa yang melaporkan keinginan akan sesuatu dalam IRPS mengunduh 60 persen lebih banyak konten daripada mahasiswa yang mempunyai skor rendah. Tidak mengejutkan, mahasiswa yang mendapatkan skor tinggi di skala IRPS menghabiskan sekitar 10 persen waktu mereka di internet untuk gaming, dibanding 5 persen waktu yang dihabiskan oleh kelompok yang mendapatkan skor rendah.
“Kita cenderung lebih menganggap serius kecanduan terhadap narkoba daripada seseorang yang menggunakan internet sebagai obat,” ujar Doraiswamy. “Konsekuensi negatif internet tidak terlalu dianggap penting.”
Menurut para peneliti, permintaan untuk bantuan professional untuk “digital detox” meningkat, tapi hanya ada sedikit data untuk memberikan petunjuk diagnosa dan perawatan. Mereka yakin hasil penelitian ini dan penelitian lainnya bisa memberikan pencerahan tentang potensi internet untuk mempengaruhi kesehatan perilaku dan emosional, dan kebutuhan untuk mengembangkan kriteria penggunaan internet normal dan bermasalah pada kelompok usia yang berbeda.
Tim peneliti memperingatkan bahwa penelitian ini bersifat mengeksplorasi dan tidak membuktikan hubungan sebab akibat antara penggunaan internet dan perilaku kecanduan.
Mereka menambahkan bahwa sebagian besar mahasiswa mencatat angka lebih rendah dari skala mid-point. Lebih lanjut lagi, mahasiswa yang menunjukan penggunaan internet yang bermasalah mungkin menderita gangguan mental lain, fakta yang tidak diperiksa dalam penelitian ini.
Penelitian ini, disampaikan pada 18 Desember di IEEE International Conference on Advanced Networks and Telecommunications Systems di Chennai, India.
Para peneliti di Missouri University of Science and Technology, Duke University Medical Center dan the Duke Institute of Brain Sciences, melacak penggunaan internet 69 mahasiswa selama dua bulan. Yang mereka temukan adalah hubungan antara tipe penggunaan internet tertentu dan perilaku kecanduan.
“Sekitar 5 sampai 10 persen pengguna internet menunjukkan ketergantungan web, dan studi penggambaran otak menunjukkan bahwa penggunaan internet impulsif dapat menyebabkan perubahan dalam beberapa jalur reward otak yang mirip dengan apa yang terlihat di otak pecandu narkoba," ujar Dr. P. Murali Doraiswamy, seorang professor psikiatri dan ilmu perilaku di Duke University Medical Center.
Untuk penelitian tersebut, para siswa diminta untuk melengkapi survei berisi 20 pertanyaan yang disebut Internet-Related Problem Scale (IRPS). IRPS mengukur tingkat masalah yang dimiliki seseorang akibat penggunaan internet, dengan skala 0 sampai 200.
Skala ini dikembangkan untuk mengidentifikasi karakteristik kecanduan, seperti introversi, penarikan diri, keinginan akan sesuatu, toleransi dan konsekuensi hidup negatif. Survei ini juga menemukan pelarian dari kenyataan, kehilangan kendali dan waktu yang berkurang untuk melakukan kegiatan harian.
Para peneliti juga melacak penggunaan internet di kampus oleh mahasiswa yang diteliti selama dua bulan.
Mereka menemukan bahwa kisaran skor IRPS di antara mahasiswa yang diteliti selama dua bulan berada di antara 30 sampai 134 pada skala angka 200. Skor rata-rata adalah 75.
Penggunaan total internet mahasiswa berkisar dari 140 megabytes sampai 51 gigabytes, dengan rata-rata 7 gigabytes, dan penggunaan tersebut dibagi menjadi beberapa kategori, termasuk gaming, chatting, pengunduhan dokumen, email, browsing dan jaringan sosial (Facebook dan Twitter). Total skor IRPS menunjukkan korelasi tertinggi dengan gaming, chatting dan browsing, dan yang terendah dengan email dan jaringan sosial.
Perilaku kecanduan klasik dikaitkan dengan kegiatan internet spesifik, menurut para peneliti. Contohnya, mereka menemukan bahwa introversi terkait erat dengan gaming dan chatting; keinginan akan sesuatu terkait erat dengan gaming, chatting dan pengunduhan dokumen; dan kehilangan kendali terkait erat dengan gaming.
Mahasiswa yang mendapatkan skor tinggi di skala introversi menghabiskan 25 persen waktu lebih banyak di pesan instan daripada mahasiswa yang mendapatkan skor rendah. Para mahasiswa yang melaporkan keinginan akan sesuatu dalam IRPS mengunduh 60 persen lebih banyak konten daripada mahasiswa yang mempunyai skor rendah. Tidak mengejutkan, mahasiswa yang mendapatkan skor tinggi di skala IRPS menghabiskan sekitar 10 persen waktu mereka di internet untuk gaming, dibanding 5 persen waktu yang dihabiskan oleh kelompok yang mendapatkan skor rendah.
“Kita cenderung lebih menganggap serius kecanduan terhadap narkoba daripada seseorang yang menggunakan internet sebagai obat,” ujar Doraiswamy. “Konsekuensi negatif internet tidak terlalu dianggap penting.”
Menurut para peneliti, permintaan untuk bantuan professional untuk “digital detox” meningkat, tapi hanya ada sedikit data untuk memberikan petunjuk diagnosa dan perawatan. Mereka yakin hasil penelitian ini dan penelitian lainnya bisa memberikan pencerahan tentang potensi internet untuk mempengaruhi kesehatan perilaku dan emosional, dan kebutuhan untuk mengembangkan kriteria penggunaan internet normal dan bermasalah pada kelompok usia yang berbeda.
Tim peneliti memperingatkan bahwa penelitian ini bersifat mengeksplorasi dan tidak membuktikan hubungan sebab akibat antara penggunaan internet dan perilaku kecanduan.
Mereka menambahkan bahwa sebagian besar mahasiswa mencatat angka lebih rendah dari skala mid-point. Lebih lanjut lagi, mahasiswa yang menunjukan penggunaan internet yang bermasalah mungkin menderita gangguan mental lain, fakta yang tidak diperiksa dalam penelitian ini.
Penelitian ini, disampaikan pada 18 Desember di IEEE International Conference on Advanced Networks and Telecommunications Systems di Chennai, India.